Menyesatkan Perkembangan Ilmu Pengetahuan melalui Barang Absurd yang Dianggap Ilmiah

Saya memposisikan berbagai pendekatan, metode, atau strategi penelitian sebagai cara-cara manusia untuk mendapatkan kebenaran ilmiah secara empiris. Tentu setiap pendetakan penelitian punya kriteria, tapisan, dan etika masing-masing terkait sesuatu bisa disebut dengan kebenaran ilmiah. Jika saya memiliki pandangan demikian, maka saya tidak perlu khawatir jatuh ke dalam perdebatan tidak berguna terkait pendekatan mana yang paling baik. Saya menilai, orang-orang yang sibuk memperdebatkan mana pendekatan yang lebih benar bahkan mengekslusifkan diri sehingga menjadi fanatik atau anti terhadap pendekatan lain adalah kesesatan ilmiah yang sangat mengkahawatirkan. Ilmu butuh berkembang bahkan berevolusi, dimana proses revolusi tersebut membutuhkan banyak asupan kebenaran ilmiah yang ditemukan melalui banyak cara atau pendekatan. Logikanya, jika ada seseorang yang hanya fanatik pada satu cara saja, maka orang tersebut sedang berenang di dalam kebuntuan revolusi perkembangan ilmu bahkan menjadi salah satu sebab kemandegan demokratisasi ilmu. Lebih parah lagi jika orang yang bersangkutan menonjolkan kemampuan akses dan sumber daya yang dimiliki sebagai pembenaran untuk menutupi peluang-peluang kebenaran yang lain, maka sebetulnya dia mengalami kemunduran ilmu selama berabad-abad dimana sejarah demokratisasi ilmu pernah diinjak-injak martabatnya oleh otoritarianisme. Otoritarianisme adalah sikap dimana “yang benar” adalah yang memiliki “power”, dimana “power” itu identik dengan hak akses (previllage) atau kepemilikan sumber daya yang tidak dimiliki secara egaliter atau inklusif oleh orang kebanyakan. Kalau kita bisa membaca sejarah, maka akhir dari otoriatianisme di dalam perkembangan ilmu adalah munculnya hal-hal absurd yang oleh orang awam diistilahkan dengan klenik. Dalam dunia empirisme, tidak akan bisa dicampur antara klenik dan kebenaran ilmiah. Klenik hanya dinikmati/ diklaim sepihak tanpa ada kesempatan pihak lain untuk mengaudit dan mengalami hal yang sama, sedangkan kebenaran ilmiah menuntut adanya keterbukan peluang berbagai macam cara untuk menemukan dirinya (kebenaran ilmiah). Jika hal-hal absurd atau klenik tersebut dipelihara oleh orang-orang yang mengklaim dirinya sebagai akademisi, maka kiamatlah dunia ilmu pengetahuan. Setidaknya, kiamat pengetahuan itu terjadi pada diri orang yang bersangkutan tadi, yaitu orang yang memelihara otoritarianisme ilmu, dan menikmati suasana absurd/ klenik yang dianggapnya sebagai hal ilmiah yang eksklusif.

Jika kita berbicara pada proses bagaimana kebenaran ilmiah ditemukan, maka tidak akan terlepas dari siapa pencari kebenaran dan dimana tempat/domain kebenaran itu dicari. Tentu saja harapan ideal yang diinginkan adalah si pencari kebenaran adalah orang yang kompeten sehingga kebenaran ilmiah yang ditemukan memiliki status yang jelas dan bisa diperbandingkan dengan versi-versi kebenaran ilmiah yang serumpun untuk menuju perkembangan ilmu yang baik. Berbicara tentang kompten tidaknya seseorang adalah terkait dimana orang yang bersangkutan menggunakan keahliannya di tempat/domain yang relevan/tepat. Jika ada seseorang tidak bisa memasak nasi goreng tetapi kita dapati dia sedang memasak nasi goreng, maka dengan mudah kita bisa dengan memprediksi bahwa hasil masakan nasi gorang pasti tidak enak. Kalaupun hasilnya enak, itupun hanya untung-untungan saja yang tidak bisa diulangi dengan persis. Artinya, secara gampang disebut dia tidak kompeten memasak nasi goreng. Proses pencarian kebenaran ilmiah sebaiknya dilakukan oleh orang-orang dengan kompetensi yang jelas dan tepat sesuai dengan domain yang ditempati. Salah satu cara paling cepat yang bisa kita gunakan untuk mengidentifikasi kompetensi seseorang adalah menggunakan kacamata akademisi. Akademisi adalah seseorang yang dianggap kompeten pada suatu tempat/domain ilmu tertentu. Hal yang sangat membanggakan apabila seseorang berupaya mencari kebenaran ilmiah pada domain keilmuan yang dia tekuni. Misal, akademisi kedokteran, mencari kebenaran ilmiah di bidang kedokteran dengan strategi penelitian ilmiah yang secara prosedur dan etika berlaku di dunia/domain kedokteran. Sebaliknya, hal yang sangat ABSURD pada konteks akademisi, jika akademisi kedokteran dengan santainya mengkalim secara sepihak bahwa dirinya sedang sibuk mencari kebenaran ilmiah tentang alat musik. Hal tersebut secara keperilakuan bisa direalisasikan, tetapi pasti bisa diprediksi bahwa kebenaran ilmiah yang dihasilkan dan relevansi kompetensinya terkait bidang musik adalah absurd pada konteks kehidupan akademis.

Dengan demikian, kembali lagi kepada pernyataan saya sebelumnya bahwa hal yang sangat membanggakan apabila seseorang berupaya mencari kebenaran ilmiah pada domain keilmuan yang dia tekuni. Saya pribadi sedang berupaya untuk teguh dan tekun pada hal tersebut. Saya memiliki latar belakang akademik bidang pendidikan teknologi informasi, dan saya bangga mencari berbagai versi kebenaran ilmiah di bidang tersebut dengan memanfaatkan berbagai pendekatan, metode, atau strategi penelitian. Saya tidak akan fanatik pada pendekatan, metode, atau strategi penelitian tertentu saja karena memanfaatkan keragaman metode yang ada saya anggap sebagi bentuk-bentuk ikhtiar menghargai perkembangan keilmuan saya. Seharusnya justru saya bersyukur karena pada konteks empirisme sudah tersedia banyak cara untuk menggerakkan roda ilmu pengetahuan ke arah yang lebih maju. Pada sisi lain, saya akan konsisten bergerak hanya pada domain keilmuan saya yaitu pendidikan teknologi informasi, sebagai upaya untuk menjamin relevansi kompetensi yang saya miliki. Jika memang ke depan ada pragmatisasi persoalan yang targetnya bukan untuk penemuan kebenaran ilmiah tetapi untuk solusi praktis, saya jamin pragmatisasi tersebut tidak akan bisa saya selesaikan sendiri sehingga membutuhkan akademisi lain yang memiliki corak bidang ilmu yang dibutuhkan untuk berkolaborasi di dalam pragmatisasi tersebut. Sederhananya, saya tidak mungkin sibuk mencari kebenaran ilmiah tentang alat musik karena akademisi di bidang musik pasti lebih kompeten dan kebenaran ilmiah yang dihasilkan lebih bisa berguna bagi revolusi ilmu pengetahuan. Walaupun secara keperilakuan mungkin saja saya bisa mencari kebenaran ilmiah di bidang musik, namun atas dasar latar belakang akademis dan kehidupan akademis yang saya jalani hal tersebut terkesan bahwa apa yang saya lakukan tidak terhormat. Bayangkan saja di forum akademis, saya yang tidak punya latar belakang akademis bidang musik berbicara banyak terkait teori musik. Jika saya tetap melanjutkan hal seperti itu dan menganggapnya eksklusif karena saya punya banyak teman pemusik, pencipta lagu, bahkan saya punya studio musik, maka apa yang saya lakukan tersebut adalah otoritarianisme akademis. Saya merasa mampu karena previllage tadi, bukan karena proses pencarian kebenaran ilmiah dengan kompetensi dan tempat yang tepat.